the Edge Property news
Pertumbuhan properti yang sangat cepat sehingga jauh melampaui kebutuhan (over supply) dapat berakibat pada terganggunya sektor perekonomian nasional.
Meningkatnya industri properti akhir-akhir ini membuat semakin mengeliatnya penjualan properti, baik secara landed house maupun apartemen seiring pangsa pasar yang tinggi beberapa tahun ini. Tak dimungkiri, pertumbuhan properti sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.
Kira-kira, demikianlah pandangan beberapa pengamat. Mereka memberikan apresiasi terhadap industri properti dalam kemajuan dan pendorong pertumbuhan ekonomi nasional akibat dari adanya multiplierefect, diantaranya tercipta lapangan kerja baru, peningkatan jual beli, perputaran uang secara rill disektor mikro.
Akan tetapi, negatifnya multipliereffect tersebut mendorong peningkatan kebutuhan yang tinggi. Alhasil, jika dalam hal tidak terdapat produk properti, maka akan memakan korban sangat besar, mengindikasikan bahwa perekonomian dalam situasi kurang berkembang.
Rezim yang tidak tegas
Nasib buruk masih dirasakan properti nasional, sebagaimana megaproyek rusunami yang ternyata gagal, dianggap salah sasaran. Dalam hal ini pemerintah belum mampu untuk melakukan sebagian tugasnya sebagai pembina, diantaranya selaku perencana, pengaturan, pengendali seta pengawas seperti yang diamanatkan Undang-undang No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman serta Undang-undang No.20 tahun 2011 tentang Rumah Susun.
Kesalahan tersebut dilimpahkan kepada pemerintah. Soal lemahnya pemerintah dalam pengawasan dan penindakan, bahkan cenderung tutup mata, itu membuat masyarakat kembali menjadi korban. Bisa dilihat, bagaimana “developer nakal” pun bermunculan sehingga bertambah runyamlah masalah-masalah dalam properti Indonesia.
Akhirnya, sikap tidak tegas menjadi ujung pangkal masalah. Undang-undang yang baru keluar masih dianggap tidak tegas, bahkan mengulang kesalahan rezim lalu dan sebagian penggiat properti beranggapan sebagai “kesalahan sejarah”, mulai masih berkutatnya masalah terkait PPJB sampai dengan AJB hingga dengan penyerahan sertifikat hak milik atas nama pemilik. Semua seakan menjadi masalah klasik.
Banyaknya klausula yang tidak prokonsumen sejak dari hulu hingga hilirnya, yang membuat nilai tawar konsumen tidak berimbang. Celakanya lagi, perimbangan itu tidak diharuskan masuk ke dalam hukum positif.
Banjir
Tak dapat dipungkiri memang, bahwa masalah developer di awali dari pembiayaan. Sektor bisnis developer (pengembang) dituntut melihat peluang keuntungan yang sebesar-besarnya, dan undang-undang pun mengisyarakan hal tersebut.
Namun, jika melihat skema pembangunan properti dalam proyek pembiayaan dapat dilihat dari 3 segmen pembiayaan yaitu modal sendiri, kredit bank, dan uang muka dari konsumen. Di sinilah ide untuk mengeruk keuntungan dari konsumen properti dan benih-benih sengketa ditanamkan. Jurang antara konsumen dan developer pun mulai digali.
Kebutuhan perumahan yang tinggi seiring jumlah penduduk semakin bertambah membuat stok perumahan belum dapat terealisasi. Stok properti yang belum tersedia ditambah keuntungan yang menggiurkan, maka dapat dilihat bahwa keinginan masyarakat memiliki properti pribadi sangat besar. Belum lagi dengan nilai prestise yang akan timbul bila memiliki properti lebih dari tiga.
Masalah berikut dari aspek stok dapat dilihat penjualan properti dari aspek pre selling atau stok properti menunggu dibangun dan post selling atau stok properti yang siap dijual.
Dalam hal pre selling mencapai 75% dari nilai penjualan properti adalah bermasalah, dalam hal ini jarak penyerahannya dapat sampai 6-9 bulan (landed house). Bahkan, apartemen dan perkantoran dapat sampai dengan 18-24 bulan.
Keterlambatan penyerahan fisik memang terjadi pada proyek-proyek properti mengingat pembiayaan yang disebutkan di atas. Sampai proses pelepasan hak kepada pembeli, misalnya pemecahan sertifikat hak milik induk menjadi sertifikat hak milik perorangan, pasti tidak terhindar dari sengketa. Membanjirnya sengketa properti pun tidak akan dapat terelakkan.
Setidaknya, berdasarkan Penilaian Studi Hukum Properti Indonesia (SHPI) ada dua hal mendasar mengapa hal itu bisa terjadi. Pertama, kurangnya pemahaman konsumen properti terhadap aspek legal.
Kedua, kurangnya kesadaran hukum para developer dalam membangun propertinya atau dengan kata lain, developer lebih sering menggunakan jalan pintas yang pastinya tidak murah dan membuat konsumen terjerembab jatuh ke dalam lubang yang dalam sehingga terciptalah sengketa tersebut.
Di samping sengketa tersebut, harus juga dilihat pertumbuhan properti yang seimbang. Pertumbuhan properti yang tidak terkendali sehingga jauh melampaui kebutuhan (over supply) dapat berdampak pada terganggunya perekonomian nasional. Gangguan tersebut khususnya bila terjadi penurunan harga di sektor properti secara drastis dengan terjadinya buble burst (pertumbuhan tanpa diimbangi kebutuhan).
Berdasarkan penilaian SHPI, hal itu disebabkan beberapa alasan seperti adanya persamaan presepsi antara developer tentang proyeksi keuntungan penjualan properti untuk kelas menengah namun tidak diimbangi dengan jumlah properti untuk kelas bawah yang terdongkrak ke kelas menengah. Meski beberapa riset menyebutkan, peningkatan jumlah orang kaya di Indonesia tidak merata.
Selain itu, alasan lainnya, tidak meratanya pembangunan properti nasional karena lebih terpusat pada satu tempat saja, semisal pengembangan Sentul dan Bekasi, dan hampir dimonopoli para developer raksasa sehingga persaingan harga tidak kompetitif.
Masih teringat dikepala, bagaimana krisis ekonomi di Amerika Serikat yang dikenal dengan “Mortgage Case” dapat meluluhlantakkan sistem perekonomian negara Amerika itu. Pastinya, kita tidak ingin mengulangi kejadian itu di Indonesia. (sumber:kompas)
Jika anda membutuhkan jasa the EdGe, silahkan hubungi :
HOTLINE
Telp :
+6231 – 6012 – 3188 ;
+6231 – 8191 – 3900Email :
info@belisewarumah.com